DUA KALIMAH

Aku Baca Dengan Menyebut Nama-Mu



Bismillahirrahmanirrahim..





*  Bidadari untuk ikhwan (bukan episode cinta) *

“Macam mana, ustaz? Apa sudah selesai!” ucapku membuka percakapan.

“Alhamdulillah. Semuanya lancar!” jawab ustaz Fadlan dengan senyum.

“Untuk ta’arufnya, jadi tak ustaz?” tanyaku penasaran.

“Ya pasti jadi, Akh! Nah akhwatnya kan sudah dari tadi diruang tabir kedua” Jawab
Ustaz Fadlan.

Hatiku bagaikan diterjah gelombang pasang yang besar. Karena pastilah gumamku
didengar jelas si Akhwat. Entah, apakah aku masih siap menatap si Akhwat. Karena rasa
malu ku sudah teramat sangat.

“Oh!” kataku pasrah.
Ustaz Fadlan hanya tersenyum.

“Assalamualaikum” terdengar ustadzah Heni, isteri ustaz Fadlan mengucap salam dari
balik tabir.

“Walaikumsalam” serentak aku dan ustad Fadlan menjawab salam.

“macamana Bi, apa sudah boleh dimulakan proses ta’arufnya” tanya ustazah Heni pada ustaz
Fadlan.

“ya, boleh terus dimulakan!” ucap usta Fadlan. “Silakan akh Khalid, untuk menanyakan
sesuatu hal yang ingin anta tanyakan” ucap lanjut ustaz Fadlan, mempersilakan.

Aku benar-benar kekok. Entah malu, atau bahkan malu-semalinya. Mulutku bagaikan
terkunci. Berat sekali untuk membuka sebuah percakapan. Apalagi bertanya tentang
sesuatu hal pada si Akhwat.

“Ehm…” ustaz Fadlan memperingatkan aku untuk segera bertanya.

Tak seberapa lama langsung ustazah Heni berkata “Abi, biarkan akh Khalid. Biasalah,
perjumpaan pertama sama-sama malu. Nanti juga kalau sudah jadi suami isteri, pasti
sama-sama mahu”

Ustaz Fadlan langsung tertawa, sambil mengatakan “Umi, ada-ada saja!”
Aku hanya tersenyum malu. Entah, mungkin si Akhwat juga tersenyum malu dibalik
tabir.

“Assalamualaikum, Ukhti” salamku pada si Akhwat.

“Walaikumsalam” jawab si Akhwat dengan lembut.

Sejenak hatiku berdesir. Mendengar suara si Akhwat yang benar-benar lembut. Sungguh
kelembutan suara yang pernah aku dengar.
. Tetapi tetap, aku tidak boleh tertipu suaranya.

“Nama anti, ukhti Zahra?” tanyaku
“ya!” jawabnya singkat
“Ukhti, sudah kerja ataua masih kuliah” tanyaku.
“Ana, masih kuliah!” jawabnya singkat.
“Apa enti sudah bersedia, menikah dengan ana Ukh?” tanyaku lagi
“Ana, siap!” jawabnya. Lagi-lagi dengan singkat.
“Ana cuma mahu mengingatkan anti. Kalau ana, belum kerja! Masih berstatus mahasiswa.

Dan keluarga ana tidak begitu kaya. Bisa digolongkan, dari golongan menengah
kebawah” kataku menakut-nakut.

“Akhi, ana ingin menikah dengan enta bukan karena harta anta. Atau bahkan
jaminan anta! Kalaulah anta belum bekerja. Asal anta mau, pasti ada pekerjaan
buat anta! Ana cuma mengingatkan anta saja. Bahwa anta, tidak akan bisa
memberikan ana jaminan kepastian untuk boleh menghidupi ana! Kalaulah ana menikah
dengan anta, anta bukanlah penjamin hidup ana. Atau bahkan boleh memberikan
nafkah kepada ana! Allahlah yang menjamin rezeki tiap-tiap umatnya. Lalu kenapa kita
harus takut untuk melangkah dalam pernikahan, karena alasan soal rezeki atau nafkah.
Semua serahkan pada Allah. Kalau ana jadi isteri anta, ana siap hidup menderita karena
harta. Tetapi berlimpah-limpah keimanan! Dan ingat akh, menikah juga termasuk salah
satu pintu rezeki!

Subhanallah ucapku lirih dalam hati. Yaa Allah, aku siap menikah sekarang juga, kalau
engkau memang memberikan bidadari ini padaku. Ucapannya lembut, tutur katanya
santun. Tidak menggurui. Tetapi tetap, dalam dihati. Sungguh bidadari yang turun
kebumi. Entah siapa dia. Pokoknya aku sudah tidak perlu lagi wajah cantiknya. Aku
tidak perlu lagi keindahan dan kemerduan suaranya. Asal wanita ini siap berjalan
denganku menuju Jannah Illahi. Aku akan menikahinya. Tetapi tetap, kalau bisa yang
cantik dan mempunyai kemerduan suara yang seperti ini.

“Akh Khalid! Anta kenapa mengelamun” suara ustaz Fadlan mengagetkanku.

“Oh, tidak ada apa-apa ustad” jawabku . “Ukhti, apakah anti benar-benar siap
menikah dengan ana?” tanyaku.

“Ana siap, sesiap antum yang telah meluangkan waktu untuk hadir disini!” ucap si
akhwat serius.

Sebenarnya aku jadi malu sendiri. Karena sebenarnya aku sama sekali belum siap. Belum
siap untuk menikah secepatnya ini. Tetapi mungkin bukan belum siap, hanya terkejut saja.
“maaf ukhti, bukan maksud ana ingin menyinggung atau bahkan menyakiti perasaan
anti! Ana hanya ingin meminta sesuatu hal sebelum kita menikah”
“Apa itu akhi?” sela Akhwat terlihat dengan nada cemas.

“Seperti dalam sebuah hadist muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menuturkan
Aku berada di sisi Rasulullah, lalu seseorang datang kepada beliau untuk
memberitahukan bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita Anshar, maka Rasulullah
bertanya : ‘Apakah engkau telah melihatnya?’ Ia menjawab: ‘Belum.’ Rasulullah
bersabda: ‘Pergilah dan lihatlah dia; sebab di mata orang-orang Anshar ada sesuatu’
Maksud ana, bahwa sebenarnya saat kita akan menikahi seseorang. Maka kita
diperbolehkan untuk melihat orang yang akan kita nikahi! Apakah ana boleh melihat
anti” Jelasku

Entah kenapa suasana menjadi hening. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan antara
akhwat dan ustazah Heni. Tak lama ustazah Heni keluar dari tabir, sambil membuka
sedikit kain tabir yang memanjang itu. Lalu ustazah Heni, memanggil suaminya. Ustaz
Fadlan. Tak lama setelah mereka berdua berbincang-bincang. Ustad Fadlan
mendatangiku.
“Akh Khalid, apa anta sudah selesai dengan semua pertanyaan antum?” tanya ustaz
Fadlan.

Aku hanya mengangguk. Menandakan selesai.
Hem, mungkin si akhwat malu kalau dilihat langsung. Ya sudahlah! gumamku dalam
hati, agak menyesal.

 “Kalau begitu, silahkan anta melihat calon anta” ucap ustad Fadlan mempersilakan
aku melihat dari balik tabir yang terbuka.

Alhamdulillah ucapku syukur dalam hati. Minimun aku dapat melihat wajah calon istriku.
Kalaulah dia tidak secantik dugaanku, tetapi aku sudah melihatnya. Maka aku tidak akan
pernah kecewa dengan dia. Tetapi seadainya dia cantik. Mungkin Allah memang
bermaksud memberikan aku ujian. Ujian menerima istri yang cantik, tentunya.
Aku melangkah menuju tabir yang sedikit terbuka. Jantungku berdegup kencang,
seakan-akan jantung ini ingin meloncat keluar. Tubuhku menjadi panas dingin dan
tanganku bergetar. Aku benar-benar gugup sekali. Entah kenapa. Saat tanganku
menggapai kain tabir, mencoba untuk melihat. Masya Allah.

Lututku menjadi lemas. Tubuhku pun menjadi lemas, ingin ku terjatuh.
Tetapi aku masih tetap berusaha mempertahankan keadaan tubuhku. Keringat dingin pun
mengucur lirih dalam tipis keningku. Mataku pun sangat susah untuk berkedip,
bagaikan aku melihat sebuah bencana besar. Jantung dan nafasku pun, bagaikan terhenti.
Mulutku tidak dapat berkata apapun. Semuanya kaku.

“Akh Khalid! Anta sudah selesai?” tegur ustad Fadlan, menyedarkanku
“I..ya ustad, sudah selesai!” ucapku terbata-bata.

Serta merta ustad Fadlan menutup kain tabir itu kembali. Menghilangkan pandangan
yang membuat mati rasa tubuhku. Sungguh benar-benar diluar dugaanku. Diluar
kesadaranmanusia. Sungguh perencanaan Maha perencanaan yang sangat matang. Maha
mengetahui kegelisahan hati hambanya. Maha mengetahui akan keperluan hambanya.
Dan Maha membuat kehidupan hambanya lebih berarti. Aku masih tetap terdiam.
Terpaku dan membisu, tidak dapat berkata apapun. Tubuhku masih tetap merasa sangat
lemas. Teapi kini mulut dan hatiku, akhirnya dapat aku kuasai. Kini aku bisa mengucap
syukur dan takbir, berkali-kali.

dipetik dari novel bidadari untuk ikhwan


 ¤ ittaqullah ¤